Senin, 20 Juni 2011

PEMBUSUKAN IKAN AIR TAWAR AKIBAT Aeromonas Hydrophila

PENDAHULUAN

Komoditas pangan secara umum mempunyai sifat mudah mengalami kerusakan (perisable). Ikan merupakan salah satu hasil perairan yang banyak dimanfaatkan oleh manusia karena beberapa kelebihannya, antara lain merupakan sumber protein hewani yang sangat potensial karena pada daging ikan dapat dijumpai senyawa yang sangat penting yaitu karbohidrat, lemak, protein, garam-garam mineral dan vitamin (Wulandari dkk, 2005).
Kesegaran (freshness) merupakan salah satu kriteria mutu penting dalam pemilihan bahan pengan mentah (fresh items); seperti buah, sayuran, ikan segar, daging dan sebagainya. Karena itulah maka diperlukan teknik penanganan khusus untuk mempertahankan kesegaran bahan pangan; sehingga bisa menghasilkan mutu produk akhir yang optimal. Namun pada umumnya; fresh items tersebut bersifat mudah rusak, mudah ditumbuhi oleh mikroba; baik pembusuk maupun mikroba penyebab penyakit. Karena itulah maka pemahaman dan praktek penanganan bahan segara dengan aman sangat diperlukan. Penanganan bahan segar yang kurang baik akan bisa menyebabkan terjangkitnya penyakit melalui makanan (foodborne illness). Penyimpanan pada suhu rendah merupakan teknik penyimpanan yang umum digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan pangan, sehingga mampu mempertahankan kesegaran dan sekaligus melindunginya dari kontaminasi mikroba. Tujuan utamanya adalah mempertahkan kesegaran bahan sampai akhirnya bahan tersebut akan dikonsumsi atau akan diproses lebih lanjut (Anonim, 2010a).



TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK AEROMONAS  HYDROPHILA
Aeromonas hydrophila diisolasi dari manusia dan hewan pada tahun 1950. Bakteri ini adalah yang paling terkenal dari enam spesies Aeromonas. Hal ini juga sangat tahan terhadap berbagai obat, klorin, dan suhu dingin (Anonim, 2008).Genus Aeromonas mempunyai habitat di lingkungan perairan tawar. Keberadaan Aeromonas di suatu perairan erat hubungannya dengan jumlah kandungan senyawa organik di perairan atau sedimen dasar. Bakteri ini diakui sebagai patogen pada hewan aquatik berdarah dingin. Infeksi bakteri Aeromonas bersifat sekunder yaitu bakteri akan masuk ke dalam tubuh ikan jika ada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh kerusakan fisik atau kerusakan akibat serangan virus atau mikroorganisme lainnya. Infeksi bakteri Aeromonas bersifat selkunder yaitu bakteri akan masuk ke dalam tubuh ikan jika ada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh kerusakan fisik atau kerusakan akibat serangan virus atau mikroorganisme lainnya. Aeromonos sp merupakan penyerang sekunder yang memperparah kerusakan ikan (Baehaki et al, 2004).
Aeromonas hydrophila merupakan mikroorganisme psikrotrof dan sering disebut mikroorganisme psikrofilik fakultatif, maka dapat tumbuh pada ruang pendingin (refrigator), temperatur maksimum 450C, temperatur minimum 0-40C, temperatur optimum 370C.  Aeromonas hydrophila memiliki potensial foodborne patogen, secara klinis menyebakan sakit pada manusia. Keberadaannya sering ditemukan pada air, hewan domestik, pangan asal hewan seperti daging ayam, sapi, ikan dan fillet. Aeromonas hydrophila menghasilkan faktor-faktor virulen yang berbeda termasuk eksotoksin, sitotoksin dan lainnya dimana spektrum penyakit meliputi gastroenteritis, septisemia, dan infeksi pada satwa aquatik (Daskalov, 2005).


 
                          Gambar 1  Aeromonas hydrophila (Daskalov , 2005)


Klasifikasi
Domain  : Bacteria
Phylum   : Gammaproteobacteria
Class       : Aeromonadales
Genus     : Aeromonas
Species   : Aeromonas hydrophila

Aeromonas hydrophila merupakan Gram-negatif, fakultatif anaerob, non-sporeforming, bakteri berbentuk batang. bergerak dengan single polar flagellum, katalase-positif, batang oksidase-positif, dapat memfermentasi glukosa, anggota genus Aeromonas berasal dari suku kata yaitu  aer dan monas, kata aer berarti udara atau gas sedangkan monas adalah unit atau monads. (Daskalov , 2005). Aeromonas hydrophila tumbuh secara optimal pada suhu 28oC, memiliki kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin, dilaporkan serendah 0,1oC. Reservoir utamanya adalah lingkungan perairan seperti danau air tawar dan sungai dan sistem air limbah (Martin and Maurice, 2008).
Bakteri ini dapat bertahan hidup di lingkungan aerobik dan anaerobik. Sifatnya yang metropolitan di lingkungan perairan memungkinkan terjadinya kontak pada ikan dan amfibi dan bahkan memasuki hewan tersebut. Kontak tersebut dapat menyebabkan infeksi tergantung pada spesiesnya dan tingkat virulennya.  Aeromonas hydrophila telah ditemukan pada berbagai jenis ikan air tawar di seluruh dunia. Beberapa peneliti menetapkan bahwa organisme ini hanya sebagai penyerang sekunder pada inang yang lemah, sedang yang lain menyatakan bahwa Aeromonas hydrophila adalah suatu patogen utama ikan air tawar (Anonim, 2010b).




PEMBAHASAN


PEMBUSUKAN IKAN AIR TAWAR

Segera setelah ikan mati, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah kepada terjadinya pembusukan. Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya aktivitas enzim, kimiawi dan bakteri. Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor), rupa (appearance) dan tekstur (texture). Beberapa faktor penyebab kerusakan ikan air tawar adalah (Anonim, 2010b) :
·         kadar air cukup tinggi (70-80% dari berat daging) yang menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dan berkembang biak.
·         Secara alami, ikan mengandung enzim yang dapat menguraikan protein menjadi putresin, isobutilamin, kadaverin dan lain-lain, yang menyebabkan timbulnya bau tidak sedap.
·         Lemak ikan mengandung asam lemak tidak jenuh ganda yang sangat mudah mengalami proses oksidasi atau hidrolisis yang menghasilkan bau tengik.
·         Ikan mempunyai susunan jaringan sel yang lebih longgar, sehingga mikroba dapat dengan mudah menggunakannya sebagai media pertumbuhan.
Sifat ikan yang sangat mudah rusak ini akan diperparah lagi oleh kondisi penanganan pascapanen yang kurang baik. Kerusakan mekanis dapat terjadi akibat benturan selama penangkapan, pengangkutan dan persiapan sebelum pengolahan. Gejala yang timbul akibat kerusakan mekanis ini antara lain memar (karena tertindih atau tertekan), sobek atau terpotong. Kerusakan mekanis pada ikan ini tidak berpengaruh nyata terhadap nilai gizinya, tetapi cukup berpengaruh terhadap penampilan dan penerimaan konsumen (Astawan, 2005).
Selama ikan  masih dalam keadaan segar, bakteri-bakteri tersebut tidak mengganggu. Akan tetapi jika ikan mati, suhu badan ikan menjadi naik, mengakibatkan bakteri-bakteri tersebut segera menyerang. Segera terjadi pengerusakan jaringan-jaringan tubuh ikan, sehingga lama kelamaan akan terjadi perubahan komposisi daging dan mengakibatkan ikan menjadi busuk. Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi terget serangan bakteri pembusuk adalah :
ü  Seluruh permukaan tubuh
ü  Isi perut
ü  Insang





Gambar 2  Pola Pembusukan Setelah Ikan Mati (Wulandari dkk, 2005)

 

Beberapa tahap dalam pembusukan ikan :
·         Prarigormortis
Perubahan prarigormortis merupakan proses terlepasnya lendir dari kelenjar-kelenjar yang ada di dalam kulit. Proses selanjutnya membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir, akibat dari reaksi khas suatu organisme. Lendir tersebut terdiri dari gluko protein dan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
·         Rigormortis
Seperti terjadi pada daging sapi dan daging hewan lainnya, fase ini ditandai oleh mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan alat-alat yang terdapat dalam tubuh ikan yang berkontraksi akibat adanya reaksi kimia yang dipengaruhi atau dikendalikan oleh enzim. Dalam keadaan seperti ini, ikan masih dikatakan segar. Secara fisik daging ikan yang telah mati (pasca mortem) mula-mula akan kehilangan elastisitasnya (tahap pre-rigor), kemudian terjadi kekakuan daging (tahap rigor-mortis). Pada fase ini terjadi perubahan glikogen menjadi asama laktat akibat berhentinya peredaran darah dan suplemen oksigen berkurang. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun diikuti pula dengan penurunan jumlah Adenosin Trifosfat (ATP) serta ketidak mampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya.
·         Aktivitas enzim
Setelah fase rigormortis berakhir, pH daging akan mengalami kenaikan mendekeati netral 7,5 – 8 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa – senyawa yang bersifat basa. Pada kondis ikan masih hidup, kerja enzim selalu terkontrol sehingga aktivitasnya menguntungkan bagi ikan itu sendiri. Namun setelah ikan mati, enzim masih memiliki kemampuan untuk bekerja secara aktif, namun kerja enzim ini tidak terkontrol karena organ pengontrol sudah tidak berfungsi lagi. Akibatnya enzim tersebut dapat merusak organ tubuh ikan (autolysis).
Pada fase autolysis ini akan dihasilkan amoniak pada hasil akhir. Penguraian protein dan lemak pada fase autolysis menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan penampakan ikan. Autolysis tidak dapat dihentikan walaupun dengan suhu yang sangat rendah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah bakteri, karena semua hasil penguraian enzim selama proses autolysis merupakan media yang cocok untuk pertumbuh bakteri dan mikroba lainnya (Anonim, 2010b).
Proses kemunduran mutu dapat diamati dengan adanya perubahan komposisi kimiawi ikan. Perubahan komposisi kimiawi ikan dapat dilihat dengan melakukan analisa terhadap perubahan kadar TMA, TVB, NH3, dan perubahan pH. Ikan mengandung trimetilamin (TMA) yang dapat menyebabkan berbau amis (fishy). TMA (Trimetil amin) dihasilkan oleh senyawa lipoprotein yang diuraikan terlebih dahulu menjadi kolin, kemudian diuraikan lebih lanjut menjadi trimetil amin oksida (TMAO). TMAO akan diubah oleh enzim-enzim yang berada pada proses kimiawi yang menyebabkan bau menjadi amis. Ikan air tawar memiliki kandungan TMA yang rendah dibandingkan ikan air laut (Anonim, 2009). Bahan kimia lain yang ada pada ikan adalah Total Volatile Bases (TVB). Parameter TVB biasa digunakan sebagai parameter tingkat kerusakan ikan pada tahap akhir penyimpanan, artinya bila TVB sudah terbentuk dalam jumlah yang nyata, maka produk sudah mengalami perubahan mutu yang mengarah pada pembusukan. Peningkatan kandungan TVB disebabkan oleh peningkatan aktivitas mikroba menguraikan  protein yang menghasilkan basa menguap selama proses pembusukan. Proses penguraian protein dan derivatnya oleh mikrobia selama penyimpanan akan menghasilkan basa-basa menguap seperti amonia dan TMA. Batas maksimum kesegaran ikan untuk parameter TVB yang masih dapat diterima ialah sebesar 30 mgN% dan untuk nilai TMA ialah sebesar 15 mg N% (Anonim, 2009; Adams, 2008).
·         Aktivitas mikroba
Sekama ikan masih hidup, bakteri yang terdapat pada insang, saluran pencernaan, peredaran darah dan  permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang bagian – bagian tubuh ikan karena bagian – bagian tubuh ikan tersebut memiliki batas pencegah (barrier) terhadap penyerangan bakteri. Setelah ikan mati, kemampuan barrier tadi hilang sehingga bakteri segera masuk kedalam daging ikan melalui keempat bagian tadi (Anonim, 2008a).
Beberapa bakteri patogen memproduksi enzim hidrolitik seperti protease dan hialuronidase, yang mendegradasi komponen matrik ekstraseluler sehingga dapat merusak struktur jaringan inang. Enzim hidrolitik ini digunakan oleh bakteri untuk memperoleh sumber karbon dan energi dengan menghancurkan polimer yang menjadi gula sederhana dan asam amino (Baehaki et al, 2004).
Akibat aktivitas bakteri ini akan mengakibatkan ikan menjadi bergetah, amis, lendir menjadi lebih pekat, mata terbenam, insang berubah warna dengan susunan yang tidak teratur serta bau yang menusuk.
·         oksidasi
Proses pembusukan pada ikan dapat pula terjadi karena proses oksidasi lemak, sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging ke arah coklat kusam (Anonim, 2009).


PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
Perlu diperhatikan, ada banyak jenis mikroorganisme dan masing-masing memiliki kondisi optimum untuk pertumbuhannya. Sehingga akan terlihat beberapa mikroorganisme menjadi dominan, tergantung pada kontaminasi awal, sifat bahan pangan, suhu dan kondisi lainnya. Dengan penyimpanan dingin pada suhu sekitar 0oC, pertumbuhan bakteri pembusuk akan berhenti/diperlambat dan kecepatan pembusukan dapat diperlambat. Suhu ruang, ketersediaan air dan oksigen akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Anonim, 2008a).  Pada dasarnya penanganan dan pengolahan ikan bertujuan untuk mencegah kerusakan atau pembusukan. Upaya untuk memperpanjang daya tahan simpan ikan segar dapat dilakukan dengan cara antara lain (Anonim 2010b):
·         Menggunakan suhu rendah.
Melalui penyimpanan dalam lemari pendingin atau pembeku, yang mampu menghambat aktivitas mikroba atau enzim. Setiap penurunan suhu 8oC menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme berkurang menjadi kira-kira setengahnya. Pembeku (freezer) akan membuat awet hingga berbulan-bulan, tergantung suhu yang digunakan. Penyimpanan pada suhu rendah (pendinginan dan pembekuan) tidak dapat membunuh semua mikroorganisme, tetapi menghambat pertumbuhannya. Oleh karena itu, ikan yang akan disimpan pada suhu rendah harus dibersihkan terlebih dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal yang ada pada bahan tersebut Proses pembersihan tersebut dikenal dengan istilah penyiangan, yaitu pembuangan bagian kulit, insang, dan bagian dalam ikan (jeroan). Bagian-bagian tersebut perlu dibuang karena merupakan sumber utama mikroba pembusuk pada penyimpanan ikan (Anonim 2010b).
·         Menggunakan suhu tinggi
Karena mikroorganisme merupakan penyebab utama kerusakan ikan, maka kita harus memberi perlakuan-perlakuan khusus untuk menghindari kondisi-kondisi yang mempercepat pertumbuhan mikroorganisme. Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme meningkat sangat cepat pada suhu tinggi dan kondisi yang tidak higienis. Sehingga, untuk memperlambat kerusakan karena aktivitas mikroorganisme, ikan harus didinginkan segera setelah penangkapan dan disimpan pada kondisi higienis (Anonim, 2008a).
·         Mengurangi kadar air, cara ini dapat dilakukan dengan :
-          Menggunakan udara panas :penjemuran, oven atau alat pengering khusus (mechanical drier)
-          Menggunakan proses osmosa : misalnya proses penggaraman
-          Menggunakan tekanan : tekanan mekanis misalnya pada kecap ikan dan tepung ikan
-          Menggunakan panas : pengasapan dan perebusan
·         Menggunakan zat anti septic, asam asetat (cuka), natrium benzoate, natrium nitrat dan natrium nitrit
·         Menggunakan ruang hampa udara, untuk menghidari terjadinya oksidasi lemak yang sering menimbulkan efek bau tengik
Kunci untuk menjaga angka bakteri dan kadar histamin rendah adalah cepat pendinginan ikan setelah penangkapan dan pemeliharaan pendingin yang memadai selama penanganan dan penyimpanan. Meskipun ekspansi besar dalam perdagangan dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan besar telah dicapai dalam menjamin kualitas dan keamanan produk ikan. Hal ini sebagian besar (Lehane L and Olley J, 2000).




KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
 Aeromonas hydrophila telah ditemukan pada berbagai jenis ikan air tawar di seluruh dunia, sebagai patogen utama ikan air tawar. Karena mikroorganisme merupakan penyebab utama kerusakan ikan, maka kita harus memberi perlakuan-perlakuan khusus untuk menghindari kondisi-kondisi yang mempercepat pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa tahap dalam pembusukan ikan air tawar adalah Prarigormortis, Rigormortis, Aktivitas enzim, Aktivitas mikroba dan oksidasi. Untuk mencegah kerusakan atau pembusukan, penanganan dan pengolahan ikan dilakukan segera setelah ikan ditangkap.




SARAN
Penanganan dan pengolahan ikan bertujuan untuk mencegah kerusakan atau pembusukan, untuk memperpanjang daya tahan simpan ikan segar dapat dilakukan melalui : penyimpanan penyimpanan dalam lemari pendingin atau pembeku, penggunakan suhu tinggi, mengurangi kadar air, menggunakan zat anti septic atau dengan menggunakan ruang hampa udara.




DAFTAR PUSTAKA

Adams M R.  and  Moss M O. 2008. Food microbiology - Google Books Result. Technology & Engineering - 463 pages Annotation.

Anonim. 2008. Proses Pembusukan Ikan Air Tawar. http://id.shvoong.com/exact-sciences/1790308-proses-pembusukan-ikan/

Anonim. 2008a. Aeromonas hydrophila.http://en.wikipedia. org/wiki/ Aeromonas_ hydrophila

Anonim . 2008b. Bantuan Teknis Untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia-Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan.


Anonim. 2010a. Menjaga Kesegaran dan Kualitas Produk Seafood. Buletin Kulinologi Indonesia Edisi Januari 2010. Halaman

Anonim. 2010b. Mengantisipasi Serangan Bakteri Aeromonas Pada Ikan Patin Dan Manusia. http://Aeromonas hydropila/Mengantisipasi Serangan Bakteri Aeromonas Pada Ikan Patin Dan Manusia.htm

 

Astawan. 2005. Ikan Air Tawar Kaya Proyein dan Vitamin. http://sinar-fals.blogspot.com/2010/03/ikan-air-tawar-kaya-protein-dan-vitamin.html.

Baehaki A, Nurhayati  T, Suhartono T. 2004. Karakterisasi Protease Dari Bakteri Aerornonas hydropftila. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Volume VIII Nomor 2 Tahun 2004.

Daskalov. 2005. The importance of Aeromonas hydrophila in food safety. Food Control 17 (2006) page 476-483.Department of Food Hygiene, Technology and Control of Foods and Foodstuffs, Faculty of Veterinary Medicine, Trakia University, 6000 Stara Zagora, Bulgaria

Lehane J and Olley J. 2000. Histamine Fish Poisoning Revisited. International Journal of Food Microbiology .Volume 58, Issues 1-2, 30 June 2000, Pages 1-37.

Mary P, Sautour M, Chibib N E, Tiemmy Y, Homez J P. 2002 Tolerance and starvation induced cross-protection against different stresses in Aeromonas hydrophila.

Martin R Adam and Maurice OM. 2008. Food Microbiology. Tirth Edition. Printed by Cromwell Press Limited, Trowbridge, Wiltshire.

Wulandari S, Sayuti I, Asmaini. 2005. Analisis Mikrobiologi Produk Ikan Kaleng (Sardines) Kemasan Dalam Limit Waktu Tertentu (Expire). Jurnal Biogenesis Vol. 2(I):30-35, 2005.

KEBERADAAN Salmonella enteritidis PADA BAHAN PANGAN TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT

PENDAHULUAN


Latar Belakang
Bahan pangan yang berasal dari hewan merupakan sumber utama bakteri penyebab infeksi dan intoksikasi. Mikroorganisme yang terdapat pada hewan hidup dapat terbawa ke dalam daging segar dan mungkin bertahan selama proses pengolahan. Banyak hewan-hewan yang disembelih membawa mikroorganisme seperti Salmonella dan Campylobacter, selain mikrooranisme yang secara alami terdapat pada saluran pencernaan seperti Clostridium perfringens, Escherichia coli, Yersinia entercolitica dan Listeria monocytogenes. Proses pemotongan unggas secara kontinyu, meningkatkan penularan mikroorganisme dari karkas yang satu ke yang lainnya. Demikian juga penggilingan daging dalam pembuatan daging cincang dapat menyebarkan mikroorganisme, sehingga dagin cincang merupakan produk daging yang beresiko tinggi.
Gastroenteritis parah merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia dan paling berkontribusi dalam kematian dan penularan penyakit di Negara berkembang (Collard JM et al. 2007). salah satu penyebab gastroenteritis adalah Salmonella. Salmonellosis mungkin adalah penyakit zoonosis yang tersebar paling luas di seluruh dunia. Salah satu Salmonella yang berperan penting dalam zoonosis di dunia adalah Salmonella enteritidis. Data surveilans secara global mengindikasikan insiden infeksi gastroentritis yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis telah meningkat selama beberapa dekade terakhir (Akhtar et al. 2010).
Salmonella enteritidis secara luas dilaporkan sebagai penyebab utama food-borne gastroenteritis pada manusia dan telah diisolasi dari kasus pada manusia. Hewan dan produknya khususnya ayam, daging dan telur merupakan sumber utama infeksi pada manusia yang diakibatkan oleh patogen ini (Porier et al. 2008). Saat ini Salmonella enteritidis menjadi serotip yang paling banyak diisolasi dari makanan dan khususnya bertanggungjawab untuk secara keseluruhan meningkatnya kasus infeksi salmonellosis pada manusia. Serotip ini juga paling banyak dihubungkan dengan infeksi Salmonella di seluruh dunia (Molbak & Neimann 2002).
Salmonella enteritidis merupakan penyebab penting pada salmonellosis pada manusia dan hubungannya dengan keracunan makanan dengan konsumsi telur ayam yang terkontaminasi dan produk unggas. Salmonella enteritidis merupakan serovar yang paling banyak diisolasi dari salmonellosis pada unggas dan manusia. Keracunana makanan pada manusia akibat salmonelosis biasanya dimanifestasikan dengan gastroenteritis yang dikarakteristikan dengan diare, kram perut dan bakterimia. Selain wabah yang terjadi di Amerika, Inggris dan beberapa negara eropa lainnya, studi juga menunjukan bahwa Salmonella enteritidis yang merupakan serovar Salmonella paling banyak dalam wabah foodborne terjadi di Brazil (Oliveira et al 2006).
Di Amerika setiap tahun terjadi 204 juta kasus dengan kematian rata-rata 500-1000 dan kerugian ekonomi mencapai 3 milyar dolar. Data CDC juga melaporkan adanya indikasi bahwa insidensi kasus Salmonella enterica serovar Typhimurium berkurang secara signifikan mencapai (42%), namun terjadi peningkatan kejadian serovoar yang lain yaitu S. enterica serovar Enteritidis dan S. enterica serovar Heidelberg sebanyak 25%, dan S. enterica serovar Javiana meningkat mencapai 82% (Bhunia 2008).

Tujuan
Tujuan penulissan makalah ini adalah untuk mengenal Salmonella enteritidis mulai dari morfologi, kerusakan yang ditimbulkan pada makanan, pada manusia sampai pencegahan dan penggobatannya.

TINJAUAN PUSTAKA


Salmonella
Salmonella pertama kali menemukan bakterium tahun 1885 pada tubuh babi oleh Theobald Smith (yang terkenal akan hasilnya pada anafilaksis), namun Salmonella dinamai dari Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika (Ryan KJ dan Ray CG 2004).



                                          Gambar 1 Bakteri Salmonella


Genus Salmonella masuk dalam anggota family Enterobacteriaceae. Bakteri ini bergram negatif, tidak berspora, panjang rata-rata 2 - 5 µm dengan lebar 0.8 – 1.5 µm, bentuk bacillus. Salmonella merupakan bakteri motil (kecuali Salmonella Pullorum dan Salmonella Gallinarum) dan memiliki banyak flagela (peritrichous flagella). Bakteri ini fakultatif anaerob yang dapat tumbuh pada temperatur dengan kisaran 5–45°C dengan suhu optimum 35–37°C. Bentuk Salmonella berupa rantai filamen panjang ketika berada pada temparatur ekstrim yaitu 4-8°C atau pada suhu 45°C dengan kondisi pH 4.4 atau 9.4. Salmonella merupakan bakteri motil yang menggunakan flagella peritrichous dalam pergerakannya. Secara umum Salmonella tidak mampu memfermentasikan laktosa, sukrosa atau salicin, katalase positif, oksidase negatif dan mefermentasi glukosa dan manitol untuk memproduksi asam atau asam dan gas (Jay et al. 2005). Bakteri ini dapat tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada konsentrasi garam tinggi. (Bhunia 2008 ; Percival et al. 2004).
Salmonella merupakan bakteri yang sensitif panas dimana tidak tahan pada suhu lebih dari 70 oC. Pasteurisasi pada suhu 71.1oC selama 15 menit dapat menghancurkan Salmonella pada susu. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi dehidrasi dalam kurun waktu yang sama pada feses dan makanan untuk konsumsi hewan dan manusia (PAN America Health Organization 2001).




                          Gambar 2 Bentuk dan warna koloni Salmonella


             Tabel 1. Serotipe Salmonella enterica dan target host (Sumber: Bhunia 2008)

                        
Salmonella enteritica Serovar Enteritidis (Salmonella Enteritidis)
Salmonella enteritidis adalah salah satu serovar atau serotipe dari subspesies Salmonella enteritica dan termasuk dalam anggota famili Enterobacteriaceae. Hal ini didasarkan atas sifat-sifat biokimianya sehingga Salmonella enteritidis merupakan subspesies enteritica. Salmonella diklasifikasikan dalam group sesuai dengan klasifikasi berdasarkan pada antigen badan somatik O (ohne) dan antigen flagel H (hauch). Genus ini mempunyai struktur antigen yang tidak stabil dan dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan bakteri ini pada suatu saat dapat membentuk variasi secara tiba-tiba (Bhunia 2008).

Sumber dan Transmisi
Salmonella terdapat pada usus unggas, reptil, katak, seranga, hewan peternakan, dan manusia. Ternak merupakan sumber utama untuk foodborne salmonellosis pada manusia, hal ini karena di peternakan, dalam tubuh unggas terjadi kolonisasi pada usus unggas dan secara cepat menyebar ke unggas lain. Kolonisasi intestinal akibat Salmonella dalam tubuh unggas dapat meningkatkan risiko kontamninasi selama pemotongan. Telur juga merupakan resevoir untuk Salmonella khusunya S. Enteritidis sebagai organisme yang dapat berkoloni pada ovarium ayam.
Kontaminasi Salmonella enteritidis pada telur diketahui dengan dua mekanisme yaitu melalui induk yang terinfeksi oleh Salmonella enteritidis atau secara vertikal dan secara horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial (transovarial contaminated). Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa Salmonella enteritidis pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi (Cox et al. 2000).
Transmisi melalui transovari yang menyebabkan bakteri bisa mencapai bagian dalam telur sebelum pembentukan cangkang telur dalam oviduk. Sebagai hasilnya, telur yang disimpan dalam temperatur kamar dapat mengandung konsentrasi S. Enteritidis yang tinggi, dapat mencapai 1011 sel per telur. Salmonellosis pada manusia yang umumnya bersifat foodborne dapat diperoleh melalui konsumsi makanan asal hewan seperti daging, susu, daging ayam dan telur. Produk peternakan termasuk keju, es krim juga dapat mengakibatkan kejadian outbreak bahkan baru-baru (tahun 2006-2007) ini juga dilaporkan kasus outbreak akibat mengkonsumsi mentega. Transmisi dapat terjadi antara hewan ke manusia, transmisi manusia ke manusia juga dapat terjadi (Bhunia 2008).
Pada penyakit enteritik dapat digambarkan prosesnya dimulai masuknya salmonella kedalam tubuh inang, Salmonella enteritidis tahan terhadap asam lambung, menempel pada sel epitel ileum melalui mannose-resistant fimbriae. Mereka ditelan oleh sel dalam proses yang dikenal sebagai receptor mediated endocytosis. Kemampuan Salmonella untuk masuk ke sel non-phago-cytic merupakan sifat penting untuk patogenisitasnya. Endosit Salmonella melewati sel-sel epitel dalam vakuola membran yang terikat, dimana Salmonella memperbanyak diri dan kemudian keluar menuju lamina propria melalui membrane sel basal. Hal ini menyebabkan sel inflamasi mengeluarkan prostaglandin yang mengaktifkan adenylate cyclase memproduksi cairan yang disekresikan kedalam lumen usus. Sementara pada penyakit sistemik prosesnya dimulai dengan serotip yang dapat beradaptasi dengan inang lebih invasif dan menyebabkan penyakit sistemik pada inang, sifat/cirri ini dikaitkan dengan resisten terhadap fagositosis. Salmonella melakukan penetrasi terhadap epithelium usus dan terbawa oleh lymphatic ke limfonodus mensenterika. Setelah multiflikasi di makrofag, Salmonella dilepaskan untuk mengalir kedalam aliran darah dan kemudian disebarkan keseluruh tubuh. Salmonella dibersihkan dari darah oleh makrofag tetapi kembali memperbanyak diri. Hal ini mampu membunuh makrofag yang kemudian mengeluarkan bakteri dalam jumlah banyak kedalam darah yang menyebabkan septicaemia (Adams & Moss 2008).

Gejala Klinis
Gejala klinis salmonellosis dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu enteritis dan penyakit sistemik. Pertama, enteritis, gastroenteritis merupakan infeksi utama yang terkait dengan serotip yang terjadi secara meluas pada hewan dan manusia. Mereka dapat menyebabkan diare dalam berbagai tingkatan sampai ke tingkat diare yang parah. Saat ini Salmonella enteritidis merupakan Salmonella yang paling umum sebagai penyebab enteritis. Periode inkubasi pada Salmonella penyebab enteritis biasanya antara 6 – 48 jam. Gejala yang biasa muncul adalah demam ringan, mual, muntah, sakit perut dan diare selama beberapa hari, tetapi pada beberapa kasus dapat berlangsung selama satu minggu atau lebih (Jay et al. 2005).
Penyakit tersebut dapat bertahan sampai 4-7 hari. Meskipun banyak penderita dapat sembuh sempurna tanpa pemberian antibiotika. Namun, diare dapat berlebihan dan memerlukan perawatan rumah sakit. Pada penderita dengan risiko tinggi, infeksi dapat menyebar dari usus ke aliran darah atau ke tempat lain di seluruh tubuh dan dapat menyebabkan kematian tanpa pengobatan antibiotika pada penderita (CDC 2003).

Diagnosa
Pada manusia diagnosa klinis yang disebabkan oleh salmonella dikonfirmasi dengan isolasi agen, serologis, dan ketika kita membutuhkan tipe fase dan profil plasmid. Pada kasus septikemia, agen dapat diisolasi dari darah selama minggu pertama dan feses pada minggu kedua dan ketiga. Diagnosa salmonella pada manusia juga dibuat dengan kultur feces. Screening test juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa awal Salmonella enteritidis. Uji serologis dapat dilakukan dengan menggunakan ELISA dan PCR.

Pengobatan
Penggobatan gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis tergantung dari berat ringannya gejala yang ditimbulkan, usia pasien dan coomobidities penyakit lain yang diderita pasien seperti diabetess, dll). Pengobatan yang diberikan meliputi (Anonim 2010):
• Menghindari dehidrasi
  • Terapi oral : jika muntah dan dehidrasi tidak berat, jumlahnya sedikit dan sering, idealnya diterapi dengan larutan elektrolit yang seimbang, hindari minuman dengan kadar gula yang tinggi karrena dapat memperparah diare dan dehidrasi.
  • Terapi nasogastrik di rumah sakit dapat dilakukan untuk menghindari terapi melalui intravena.
  • Terapi intravena bila kondisi muntah/ atau dehidrasi yang parah, atau terjadi lemahnya tingkat kesadaran serta memiliki penyakit lain.
• Penggobatan gejala klinis yang muncul
o Pemberian paracetamol atau ibuprofen untuk pengobatan nyeri dan demam
o Anti emetic (anti muntah) diberikan bila disertai muntah, namun tidak dianjurkan untuk anak – anak
o Anti diare diberikan untuk mengobati diare yang disebabkan bakterimia, dapat mengobati diare ringan hingga sedang.
• Pemberian antibiotik
  • Tidak dianjurkan secara rutin karena cinderung meningkatkan efek samping.
  • Diberikan pada kondisi yang parah, anak – anak berusia kurang dari 2 bulan, pasien usia lanjut, serta pasien yang menunjukkan gganggguan usus yang parah.
• Rawat inap, direkomendasikan untuk :
  • Dilakukan terhadap pasien ussia lanjut dan bayi di bawah 6 bulan
  • Pasien dengan dehidrasi yang parah dan muntah terus menerus
  • Kondisi menurun ssecara signifikan
  • Terjadi penurunan kesadaran

PEMBAHASAN


Keberadaannya Salmonella enteritidis
Banyak kejadian antara Salmonella enteritidis pada telur yang berasal dari peternakan. Jumlah kejadian outbreak Salmonella enteritidis pernah dilaporkan, termasuk mengkonsumsi telur mentah atau tidak dimasak menghubungkan kejadian outbreak dengan telur yang dikonsumsi dengan mengambil sampel dan mengisolasi Salmonella enteritidis yang sama pada telur yang dicurigai sebagai penyebab outbreak. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ayam yang sedang bertelur dan diinfeksi dengan S. Enteritidis, hal ini ternyata mengakibatkan telur-telur yang dihasilkan tersebut terinfeksi dengan strain Salmonella enteritidis yang sama. Salmonella enteritidis dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat dimana kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya di putih telur dekat membran kuning telur. Hasil survei yang pernah dilakukan membuktikan adanya S. Enteritidis di kerabang, kuning dan putih telur. S. Enteritidis juga di organ usus buntu, hati, ginjal, indung telur dan saluran indung telur (Henzler et al. 1994).

Patogenesis
Patogenesis ini sangat tergantung dari faktor virulensi bakteri yaitu: (1) kemampuan invasi sel, (2) lapisan lipopolisakarida yang lengkap, (3) kemampuan replikasi intrasel, dan (4) kemungkinan perbanyakan toksin. Setelah bakteri dicerna, organisme tersebut berkoloni di ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan terjadi proliferasi epitel dan folikel limfoid. Tahap selanjutnya yaitu menginduksi membran enterosit yang terganggu dan menstimulasi pinositosis organisme.
Pada populasi dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk terinfeksi S. Enteritidis dari telur, bahkan wanita hamil dan orang-orang dengan sistem imun yang lemah memiliki risiko timbulnya penyakit ini yang lebih serius. Pada wanita hami dan individu dengan gangguan sistem imun, dengan jumlah bakteri yang relatif kecil sudah dapat mengakibatkan penyakit (Cox et al. 2000).

Cara Penularan
Semua jenis Salmonella merupakan patogen fakultatif intraseluler dan dianggap sangat patogenik dan dapat menyerang macrophages, dendritic dan sel epitel (Bhunia 2008).
Rute penularan Salmonella enteritidis pada telur dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan yaitu :
1. Transovarial
2. Translokasi dari peritoneum ke kantung kuning telur atau oviduct
3. Penetrasi kulit oleh organisme pada telur melalui kloaka
4. Pencucian telur
5. Penanganan makanan


Gambar 3. Salmonellosis, Mode of transmission (PAN American Health Organization, 2001)





Kemungkinan kontaminasi S. Enteritidis pada kerabang telur ayam secara horizontal, diakibatkan oleh infeksi dari saluran reproduksi induk ayam bagian bawah dan/ atau kontaminasi feses dari induk ayam saat pengeraman. Kontaminasi ini difasilitasi dengan kondisi kerabang-kerabang telur yang lembab, penyimpanan pada suhu tinggi dan kerusakan kerabang telur. Kontaminasi pada kerabang telur, tidak hanya meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi pada isi telur, tetapi juga meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi silang pada telur disekitarnya dan produk-produk berbahan telur lainnya. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya penetrasi dan multiplikasi S. Enteritidis diantara telur-telur ayam (CDC 2003).
Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa S. Enteritidis pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi (). Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ayam yang sedang bertelur dan diinfeksi dengan S. Enteritidis, ternyata mengakibatkan telur-telur tersebut terinfeksi dengan strain S. Enteritidis yang sama. S. enteritidis dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat dimana kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya di putih telur dekat membran kuning telur. Survei tentang keberadaan S. Enteritidis di tubuh ayam petelur ditemukan S. Enteritidis juga ditemukan di organ usus buntu, hati, ginjal, indung telur dan saluran indung telur (CDC 2003).
Kehadiaran Salmonella dalam box telur, ruangan hangat dan dingin, truk peternakan, lingkungan peternakan dapat menyebabkan kontaminasi. Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi penetrasi S. Enteritidis dalam telur. Faktor-fator tersebut diantaranya yaitu kualitas kerabang telur, banyaknya pori-pori pada kerabang telur, temperatur, kelembaban dan tekanan uap. Penetrasi pada isi telur meningkat dengan lamanya kontak dengan bahan-bahan yang terkontaminasi, khususnya selama penyimpanan dan kelembaban pada temperatur tinggi (Cox et al. 2000 ; CDC 2003).
Infeksi pada babi diperoleh melalui pakan yang terkontaminasi (oral intake). Setelah sembuh, babi dapat berperan sebagai, dimana salmonella bersarang pada tonsil, usus dan limfonodus. Babi yang berperan sebagai carrier tidak mengeluarkan bakteri pada sekretanya, Sifat carrier ini bersifat permanen, dan sangat potensial sebagai sumber penularan kepada hewan lain termasuk manusia. Setiap tahapan pemotongan merupakan critical point terjadinya kontaminasi Salmonella (Busser 2010).
Berdasarkan laporan EFSA, 10,3% babi yang dipotong di Eropa ditemukan terinfeksi salmonella pada limfonodus dan 8,3% kontaminasi ditemukan pada karkas. Di Belgia dan sebelas negara di Eropa kontaminasi salmonella ditemukan 13,9% pada limfonodus, kontaminasi salmonella pada karkas sebayak 18,8% ditemukan di Negara Belgia, Irlandia, Prancis dan Inggris (EFSA 2008).

Kerusakan Yang Ditimbulkan Terhadap Makanan
Keberadaan Salmonella dalam makanan dalam jumlah yang tinggi tidak menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella di dalam makanan, semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang mengkonsumsi makan tersebut, dan semakin cepat pula waktu inkubasinya sampai menimbulkan gejala infeksi (Supardi dan Sukamto 1999).
S. Enteritidis merupakan salah satu emerging foodborne zoonotic pathogens. Habitat utamanya berada dalam saluran pencernaan hewan dan manusia tapi dapat ditemukan pada spesies unggas dan dengan mudah dapat ditularkan ke manusia melalui telur atau daging ayam yang terkontaminasi. Infeksi bakteri ini pada hewan dan manusia dapat mengakibatkan penyakit dengan gangguan pada bagian saluran pencernaan atau gastroenteritis dan penyakit akibat infeksi Salmonella atau salmonellosis. Banyak laporan hasil penelitian menyebutkan telur ayam sebagai sumber infeksi S. Enteritidis pada manusia yang menyebabkan salmonellosis (Wang & Slavik 1998).
Data menyebutkan bahwa lebih dari 44% outbreak salmonellosis yang terjadi di seluruh dunia melibatkan konsumsi telur ayam dan cara pengolahan atau proses memasak telur ayam yang kurang sempurna seperti telur yang dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih mentah. Hal ini dapat terjadi pada telur-telur ayam yang telah dibekukan atau dikeringkan, telur ayam utuh yang tidak disimpan dalam refrigerator baik selama di pedagang eceran bahkan di rumah tangga dan rumah makan atau usaha katering mampu menjadi sumber kontaminasi makanan (Lillehoj et al. 2000).


Kerusakan Yang Ditimbulkan Terhadap Kesehatan Manusia
Infeksi S. Enteritidis dapat terjadi dengan mengkonsumsi sedikitnya 1 sampai 10 sel dapat menyebabkan penyakit salmonellosis yang mampu melakukan penentrasi pada epitel di usus halus. Salmonella ini dapat tumbuh pada jaringan sehingga menyebabkan kerusakan epitel usus. Gejala yang ditimbulkan berupa diare, sakit perut, tanpa atau dengan gejala demam, gastroenteritis, demam enterik, septikemia dan infeksi fokal. Penyakit biasanya tidak hanya pada orang dewasa tapi juga pada anak kecil dan usia lanjut (D’Aoust, 1997).
Salmonella memiliki kemampuan untuk memproduksi sedikitnya tiga jenis zat toxin. Sebuah enterotoksin termolabil adalah salah satunya, dan itu mengikat gangliosides, meningkatkan tingkat monofosfat adenosin intraseluler siklik (cAMP), dan mengintensifkan sekresi cair. Yang kedua adalah cytotoxin, non - lipopolysaccharidic komponen dari membran luar, yang menghambat sintesis protein pada eukariota mengarah pada pemanjangan sel kultur jaringan - CHO (Chinese Hamster Ovarium) sel. Endotoksin, lipid A, komponen dari lipopolisakarida dinding sel, mengaktifkan makrofag dan limfosit, dan akibatnya memicu serangkaian efek biologis: demam, leukositosis, menurunkan tekanan darah (Biljana 2010).
Invasi Salmonella tergantung dari pengaturan sel sitoskeleton dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat inositol dan kalsium sel. Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi genetik dan melibatkan gen ganda pada kromosom plasmid. Setelah menginvasi epitel usus, bakteri ini menginduksi respon inflamasi yang dapat menyebabkan ulserasi dan peningkatan sitokin sehingga menghambat sintesis protein. Mekanisme tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, invasi pada mukosa menyebabkan sel epitel mensintesis dan melepaskan berbagai sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal ini membangkitkan respon inflamasi akut dan juga meningkatkan terjadinya kerusakan usus karena reaksi inflamasi usus.
Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan keseimbangan sekresi siklik AMP (c-AMP). Mekanisme tersebut juga belum diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal dari prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi inflamasi. Strain-strain Salmonella mengeluarkan satu atau lebih substansi enterotoksin yang menstimulasi sekresi usus, namun peran toksin tersebut pada patogenesis S. Enteritidis masih belum pasti (Cox et al. 2000).
Di Amerika dan Eropa dilaporkan bahwa kasus atau wabah karena infeksi S. enteritidis berkaitan dengan konsumsi telur dan produknya yang dimasak kurang sempurna (mentah atau setengah matang). Antara tahun 1985-1991 dilaporkan bahwa 82% telur kualitas A tercemar S. enteritidis (Baharudin 2010). Salmonella merupakan salah satu bakteri pathogen terpenting di Eropa, dan merupakan sumber infeksi utama pada manusia yang mengkonsumsi daging babi (Van Loock et al. 2000).
Pada populasi dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk terinfeksi S. Enteritidis dari telur, bahkan wanita hamil dan orang-orang dengan sistem imun yang lemah memiliki risiko timbulnya penyakit ini yang lebih serius. Pada wanita hami dan individu dengan gangguan sistem imun, dengan jumlah bakteri yang relatif kecil sudah dapat mengakibatkan penyakit (Cox et al. 2000).
Ada beberapa bentuk salmonellosis yang terjadi pada manusia yaitu gastroenteritis, demam enteric dan septicaemia. Gastroenteritis merupakan infeksi pada colon yang biasanya terjadi selama 18-48 jam setelah masuknya salomenlla dalam tubuh manusia. Gastroenteritis dicirikan dengan diare, demam dan sakit perut.
Salmonella pada manusia dapat menyebabkan infeksi intestinal yang dikarakteristikkan dengan periode inkubasi 6-72 jam setelah masuknya makanan yang terkontaminasi dan dmemam mendadak, mialgia, cephalalgia, dan malaise (tidak enak). Gejala utama pada manusia berupa sakit perut, mual, muntah dan diare. Umumnya penderita salmonellosis akan kembali pulih setelah dua sampai empat jam. Carrier dapat menyebarkan salmonella selama beberapa minggu.
Gejala-gejalanya terdiri dari mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan an diare. Gejala-gejala ini biasanya diikuti dengan kelemahan, kelemahan otot, faintness, demam, gelisah, dan mengantuk. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung selama 2-3 hari (Jay et al. 2005).
Sumber utama infeksi pada manusia adalah telur, produk telur dan daging unggas (Porier et al. 2008). Selain ditemukan pada unggas dan produknya, salmonella enteritidis juga dapat ditemukan pada babi. Daging babi, daging sapi, susu dan produknya (es krim, keju). Studi yang dilakukan di China menunjukkan adanya Salmonella enteritidis pada daging yang dijual di pasar (Yang et al. 2010).

Cara Penanggulangannya
Prinsip pencegahan dan pengendalian Salmonella enteritidis berbasis pada perlindungan manusia dari infeksi dan mengurangi prevalensinya pada hewan. Inspeksi daging dan unggas serta pengawasan pasteurisasi susu dan produksi telur menjadi hal penting dalam perlindungan terhadap konsumen. Tindakan pengendalian penting lainnya adalah pendidikan mengenai penanganan makanan yang tepat, baik pada perusahaan maupun rumah tangga, tentang memasak yang benar, praktek-praktek pendinginan untuk pangan asal hewan dan tentang tentang higiene personal dan lingkungan. Higiene personal seperti tindakan mencuci tangan dalam penanganan makanan dan juga sebelum mengkonsumsi makanan menjadi hal penting. Terhadap wabah yang terjadi di restoran di Minnesota menunjukan bahwa pekerja restoran yang menyajikan makanan menjadi media penyebaran Salmonella enteritidis kepada pengunjung restoran. Maka penanganan makanan yang tepat termasuk higiene personal didalamnya menjadi hal penting dalam pencegahan penyebaran Salmonella enteritidis (Hedican et al 2009).
Pada hewan tindakan yang dapat dilakukan meliputi eliminasi carriers, control bakteri pada pangan, imunisasi/vaksinasi dan manajemen pengelolaan ternak yang tepat dan peternakan unggas. Peningkatan jumlah kasus manusia akibat infeksi salmonella yang penularannya melalui telur tidak membuat strategi hanya dilakukan pada penghasil telur/ayam tetapi juga peningkatan rekomendasi untuk konsumen dalam menangani dan memakan telur dan produknya (Okamura et al. , 2007).
Penelitian menunjukkan bahwa pembersihan secara intensif dan penggunaan desinfektan dapat mengurangi keberadaan bakteri tersebut. Telur seperti juga daging, hasil ternak, susu dan bahan olahan lainnya akan aman bila diolah dengan baik. Telur ayam akan aman bila disimpan dalam pendingin (refrigerator) tersendiri dan dimasak serta dikonsumsi segera. Diperkirakan 100 sel S. Enteritidis pada 100 gram telur, akan memudahkan timbulnya penyakit. Penyimpanan telur pada pendingin secara baik dapat mencegah perbanyakan bakteri tersebut pada telur, sehingga telur sebaiknya disimpan pada pendingin, sampai saat akan digunakan. Pemasakan juga akan mengurangi jumlah bakteri yang ada pada telur, namun putih telur dan kuning telur yang belum matang, akan berisiko lebih besar menimbulkan infeksi dibandingkan dengan telur yang telah matang karena S. Enteritidis akan mati karena pemanasan paling sedikit selama 12 menit pada suhu 66 oC atau 77-83 menit pada suhu 60 oC (CDC 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Oliveira et al (2006). Ide untuk diping atau mencuci telur dengan disinfektan telah lama diketahui. Banyak disifektan yang direkomendasikan karena telah banyak diuji baik dalam jumlah maupun bahan yang aman digunakan (Cox et al. 2000). Beberapa campuran kimia digunakan sebagai bahan aditif untuk pengawetan seperti potassium sorbate (E202), potassium benzoate (E213), nisin (E234), dimethyl dicarbonate (DMDC; E242), dan lysozyme (E1105). Selain itu beberapa bahan aditif bersifat suplemen seperti disodium EDTA (E385) dan triethyl citrate (E1505) yang digunakan sebagai bahan pengawet dan juga menghambat perubahan warna pada telur (Cho et al. 2009).
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi S. Enteritidis pada pangan asal hewan antara lain dengan menghindari makan telur mentah (minuman yang dicampur dengan telur atau jamu, bahan pembuatan es krim) atau telur setengah matang, menghindari restoran yang menyediakan makanan dari telur-telur mentah yang tidak dimasak dengan matang dan tidak dipasteurisasi, apabila terdapat telur-telur yang retak dan kotor karena feses sebaiknya dibuang dan tidak dianjurkan menyimpan telur-telur pada temperatur yang panas (40-140oC) selama lebih dari 2 jam. Memasak secara sempurna telur dan produk olahannya, mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang telur mentah, menggunakan alat-alat memasak yang telah dicuci bersih (Schlundt et al. 2004). Pengetahuan dan keperdulian masyarakat terhadap bahaya infeksi Salmonella perlu ditingkatkan (Schlundt et al. 2004).  


KESIMPULAN

Salmonella enteritidis adalah salah satu serovar atau serotipe dari subspesies Salmonella enteritica yang merupakan salah satu emerging foodborne zoonotic pathogens. Habitat utamanya berada dalam saluran pencernaan hewan dan manusia tapi dapat ditemukan pada spesies unggas dan dengan mudah dapat ditularkan ke manusia melalui telur atau daging ayam yang terkontaminasi. Kontaminasi S. Enteritidis pada telur diketahui dengan dua mekanisme yaitu melalui induk yang terinfeksi oleh S. Enteritidis atau secara vertikal dan secara horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial (transovarial contaminated) dan secara horisontal dari ayam terinfeksi ke ayam lain atau telur yang terkontaminasi ke telur lainnya.
Dalam meminimalkan risiko infeksi S. Enteritidis pada telur yang akan dikonsumsi, maka dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: (1) simpan telur pada pendingin, (2) buang telur yang telah pecah atau kotor, (3) cuci tangan dan rebus peralatan rumah tangga dengan sabun dan air setelah kontak dengan telur mentah, (4) makan segera telur setelah dimasak dan jangan menyimpan telur matang pada suhu kamar lebih dari 4 jam, (5) dinginkan telur yang belum digunakan, (6) hindarkan makan telur mentah (seperti telur campuran es krim produksi rumah tangga atau telur mentah yang dicampur dalam minuman) dan (7) hindari memakan makanan restoran yang menggunakan bahan telur mentah atau telur yang tidak dipasteurisasi.


DAFTAR PUSTAKA


Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology Third Edition. RSC Publishing; 235 - 249. UK.
Akhtar F, Khan A, Rahman SU. 2010. Prevalence and Antibiogram Studies of Salmonella enteritidis Isolated from Human and Poultry Sources. Pakistan Veterinary Journal (22)
Anonim. 2010. Reatments For Salmonella http://www.wrongdiagnosis.com/s/salmonella_enteritidis/treatments.htm
Baharuddin. 2010. Bahaya Cemaran Mikroba Pada Pangan Asal Ternak. Diseminasi pada RPC pada hari Rabu, 2 April 2008 oleh Dr. Anni Kusumaningsih, M.Sc, peneliti senior pada Kelti Bakteriologi Bbalitvet
Bhunia A. 2008. Foodborne Microbial Pathogens. Springer. USA.
Biljana Miljković, Ttatjana Babić, dan Predrag Stojanović. 2010 . Salmonella Enterica Subspecies Enterica Serovar Enteritidis – actualities and importance . Acta medica medianae 2010, vol.49(3). Review article udc: 579.842:616.981.49
Busser E.V. De . Maes D., Houf K., Dewulf J., Imberechts H., Bertrand S., Zutter L. De , 2010, Detection and characterization of Salmonella in lairage, on pig carcasses and intestines in five slaughterhouses, International Journal of Food Microbiology 145 (2011) 279–286a
.[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2003. Salmonella Enteritidis.http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/salmentg.htm [25 Des 2005].
Cho S, Jang JW, Jung Sh, Lee BR, Lee KH. 2009. Precursor effects of citric acid and citrates on ZnO Crystal formation. Langmuir 25 (6): 3825–3831.
Collard JM, Bertrand S, Dierick K, Godard C, Wildemauwe C, Vermeersch K, Duculota J, Immerseel FV, Pasman F, Imberecht H, Quinet C. 2010. Drastic decrease of Salmonella Enteritidis isolated from humans in Belgium in 2005, shift in phage types and influence on foodborne outbreaks. Epidemiol. Infect. (2008), 136, 771–781 (9)
Cox NA, Berrang ME, Cason JA. 2000. Salmonella penetration of egg shell and proliferation in broiler hatching eggs-a review. Poultry Science 79: 1571-1574.
D’Aoust JY. 1997.Salmonella. Pages 129–158 in: Food Microbiology Fundamentals and Frontiers. M. P. Doyle, L. R. Beu-chat, and T. J. Montville, ed. ASM Press, Washington, DC.
[EFSA] European Food Safety Authority, 2008, Report of the Task Force on Zoonoses Data Collection on the analysis of the baseline survey on the prevalence of Salmonella in slaughter pigs, part A. The EFSA Journal 135, 1–111.
Hedican E, Hooker C, Jenkins T, Medus C, Jawahir S, Leano F, Smith K. 2009. Restaurant Salmonella Enteritidis Outbreak Associated with an Asymptomatic Infected Food Worker. Journal of Food Protection, Vol. 72, No. 11, 2009, Pages 2332–2336
Henzler DJ, Ebel JE, Sanders D, Kradel, dan Mason J. 1994. Salmonella enteritidis in eggs from commercial chicken layer flocks implicated in human outbreaks. Avian Dis. 38:37–43.
Jay James M, Loessner Martin J, Golden David A. 2005. Modern Food Microbiology Seventh Edition Foodnorne Gastroenteritis Caused by Salmonella and Shigella. Springer. page : 619-631
Lillehoj EP, Lillehoj HS, Yun CH. 2000. Vaccines Against The Avian Enterophatogenes Eimeria, Cryptosporidium and Salmonella. Animal Health Res Reviews 1(1): 47-65.
Mølbak K and Neimann J. 2002. Risk Factors for Sporadic Infection with Salmonella Enteritidis, Denmark, 1997–1999. American Journal of Epidemiology; Vol. 156, No. 7
Okamura M, Kikuchi S, Suzuki A, Tachizaki H, Takehara K, Nakamura M. 2007. Effect of Fixed or Changing Temperatures During Prolonged Storage On the Growth of Salmonella enterica serovar Enteritidis Inoculated Artificially Into Shell Eggs. Epidemol. Infect. (2008). 136, 1210-1216
Oliveira FA, Brandelli A, Tondo EC. 2006. Antimicrobial resistance in Salmonella Enteritidis from foods involved in human salmonellosis outbreaks in southern Brazil. The New Microbiologica, 29, 49-54 (01)
PAN American Health Organization. 2001. Zoonoses And Communicable Diseases Common To Man And Animals Thrid Edition Volume 1 Bacterioses and Mycoses. PAN American Health Organization; 233 – 246
Percival S, Chalmers R, Embrey M, Hunter P, Sellwood J and Wyn-Jones P. 2004. Microbiology of Waterborne Diseases Salmonella. Elsevier Academic Press ; 173 – 182
Poirier E, Watier L, Espie E, Weill FX, Devalk H, Desenclos JC. 2008. Evaluation of the impact on human salmonellosis of control measures targeted to Salmonella Enteritidis and Typhimurium in poultry breeding using time-series analysis and intervention models in France. Epidemiol. Infect. (2008), 136, 1217–1224
Ryan KJ, Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed.). McGraw Hill. ISBN 0-8385-8529-9
Schlundt JH, Toyofuku H, Jansen J, Herbst SA. 2004. Emerging Food Borne Zoonoses. Rev Sci Tech of Int Epiz 23(2): 512-515; 522-527.
Supardi Imam dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Edisi Pertama tahun 1999. Diterbitkan atas kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation ISBN 979-414-038-4 halaman 157 – 175
Van Loock, F., Ducoffre, G., Dumont, J.M., Libotte-Chasseur, M.L., Imberechts, H., Gouffaux, M., Houins-Roulet, J., Lamsens, G., De Schrijver, K., Bin, N., Moreau, A., De Zutter, L., Daube, G., 2000. Analysis of foodborne disease in Belgium in 1997. Acta Clinica Belgica 55, 300–306.
Wang H, Slavik MF. 1998. Bacterial Penetration into Eggs Washed with Various Chemical and Stored at Different Temperatures and Times. J Food Protect 61(3): 276-279.
Yang B, Qu D, Zhang X, Shen J, Cui S, Shi Y, Xi M, Sheng M, Zhi S, Meng J. 2010. Prevalence and characterization of Salmonella serovars in retail meats of marketplace in Shaanxi, China. International Journal of Food Microbiology 141 (2010) 63–72

Minggu, 19 Juni 2011

BAKTERI PATOGEN PADA PANGAN (Campylobacter jejuni)

I. PENDAHULUAN

Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Jaminan akan keamanan pangan merupakan hak asasi konsumen. Keracunan makanan yang terjadi di masyarakat seringkali menelan korban jiwa. Kita perlu mewaspadai makanan yang mengandung bakteri patogen dan zat-zat beracun yang dijual dan beredar di pasaran. Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya mengkonsumsi pangan yang tidak aman. Dengan menghasilkan produk pertanian atau bahan pangan yang aman dan bermutu maka citra Indonesia di lingkungan masyarakat internasional akan meningkat pula (Rahayu, 2005).
Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan sebagai suatu, dan membahayakan kesehatan manusia. Makanan yang kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu, kualitas makanan, baik secara bakteriologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan (Made Astawan, 2010).
Mikroba patogen dapat ditemukan di mana saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan, peralatan untuk pengolahan bahkan pada tubuh manusia. Mikroba patogen dapat terbawa sejak bahan pangan masih hidup di ladang, kolam, atau kandang ternak. Keberadaannya makin meningkat setelah bahan pangan mengalami kematian.
Bahan pangan mengandung gizi tinggi sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai mikroba. Dengan karakteristik yang khas, produk ternak merupakan media yang disukai mikroba sebagai tempat tumbuh dan berkembang. Setelah dipotong, mikroba mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami kerusakan bila tidak mendapat penanganan yang baik. Mikroba pada produk ternak terutama berasal dari saluran pencernaan.
Selain ada yang menguntungkan, keberadaan mikroba merugikan kerap terjadi sehingga sering menimbulkan gangguan pada manusia. Pangan asal ternak berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba pembusuk atau patogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Campylobacter jejuni merupakan salah satu bakteri patogen yang mencemari ayam maupun karkasnya. Cemaran bakteri ini pada ayam tidak menyebabkan penyakit, tetapi mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan nama campylobacteriosis pada manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan diare yang hebat disertai demam, kurang nafsu makan, muntah, dan leukositosis, (Admin, 2010a).
Menurut Poloengan et al. (2005), 20−100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Tangerang tercemar bakteri C. jejuni. Oleh karena itu, berkembangnya industri jasa boga di Indonesia perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam kaitannya dengan penyediaan pangan yang berasal dari unggas.
.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SEJARAH

Gejala infeksi campylobacter diidentifikasi pada bayi tahun 1886 oleh Theodor Escherich. Infeksi ini diberi nama infantum kolera atau “summer complaint. Genus yang pertama kali ditemukan pada tahun 1963, namun organisme tersebut belum dapat diisolasi hingga tahun 1972. Beberapa Genom Campylobacter dipisahkan menjadi beberapa spesies berdasarkan mekanisme patogenesisnya. Genom Campylobacter pertama yang dipisahkan adalah C. jejuni, pada tahun 2000 (Admin. 2010e).


B. MORFOLOGI

Campylobacter jejuni, berasal dari kata “campy” yang artinya melengkung, bakteri gram negatif, mikroaerofil, batang termofilik yang tumbuh paling baik pada suhu 42 ° C (107 ° F) dan konsentrasi oksigen yang rendah. Ciri ini adaptasi untuk pertumbuhan di habitat normal - usus burung berdarah panas dan mamalia (CDC, 2007).


                                           Gambar 1.  Campylobacter jejuni - Gram negatif, batang melengkung


Dari 16 spesies dari genus Campylobacter teridentifikasi sampai saat ini, setidaknya delapan telah diidentifikasi berpotensi patogen terhadap pencernaan manusia diantaranya : C. jejuni, C. coli, C. lari, C. janin, C. upsaliensis, C. sputorum, C. concisus, dan C. curvus. (Speciation of Campylobacter coli, C. jejuni, C. helveticus, C. lari,C. sputorum, and C. upsaliensis (Robert e. Mandrell. 2005).

C. KLASIFIKASI

Kingdom :Bacteria
Phylum :Proteobacteria
Class :EpsilonProteobacteria
Order :Campylobacterales
Family :Campylobacteraceae
Genus :Campylobacter
Species : C. Jejuni

                 Gambar 2 :  Campylobacter Jejuni : bakteri gram negatif yang bersigat microaerophilic




             Gambar 3 :     Campylobacter Jejuni : bakteri gram negatif yang bersigat patogen



C. PATOGENESA

Rute penularan Campylobacter melalui fecal-oral, kontak seksual orang-ke-orang, susu mentah tidak dipasteurisasi dan konsumsi daging unggas, dan ditularkan melalui air (misalnya, melalui pasokan air yang tercemar). Paparan hewan peliharaan sakit, terutama anak anjing, juga dikaitkan dengan wabah Campylobacter. Dosis infeksius 1000-10,000 bakteri. infeksi Campylobacter telah terjadi setelah menelan 500 organisme oleh sukarelawan, namun dosis kurang dari 10.000 organisme bukanlah penyebab umum penyakit. Campylobacter spesies sensitif terhadap asam klorida dalam lambung, dan pengobatan antasida dapat mengurangi jumlah inokulum yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit, (Admin,2010a).
Campylobacter memiliki dua gen flagellin bersamaan untuk motilitas, yaitu flaA dan flaB. Gen ini mengalami rekombinasi antargen, memberikan kontribusi bagi virulensinya, (Admin,2010b).



                                   Gambar 4.  Sumber dan hasil infeksi Campylobacter jejuni



                                              Gambar 5.  Permukaan Campylobacter jejuni  dan Strukturnya.




D. GEJALA KLINIS

Masa inkubasi untuk campylobacteriosis (waktu antara eksposur ke bakteri dan timbulnya gejala pertama) biasanya dua sampai lima hari, tetapi onset dapat terjadi dalam sedikitnya dua hari atau selama 10 hari setelah menelan bakteri. Penyakit ini biasanya berlangsung tidak lebih dari satu minggu, tetapi kasus yang parah dapat bertahan selama tiga minggu (Robert e. Mandrell. 2005).
Campylobacteriosis ditandai dengan diare yang hebat disertai demam, kurang nafsu makan, muntah, dan leukositosis. Sekitar 70% kasus campylobacteriosis pada manusia disebabkan oleh cemaran C. jejuni pada karkas ayam. Cemaran C. jejuni di Indonesia cukup tinggi. Menurut Poloengan et al. (2005), 20−100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Tangerang tercemar bakteri C. Jejuni.
Mayoritas kasus yang ringan tidak memerlukan rawat inap, namun infeksi Campylobacter jejuni dapat menjadi berat dan mengancam jiwa bila menyebabkan radang usus buntu atau radang pada organ tubuh lainnya. Diperkirakan bahwa sekitar satu dari 1.000 kasus Campylobacter menimbulkan kematian. Kematian umumnya terjadi jika disertai munculnya penyakit lain seperti kanker, penyakit hati, dan AIDS (Admin.2010c).
Untuk sejumlah kecil orang, infeksi Campylobacter dapat mengakibatkan masalah kesehatan jangka panjang, penyakit langka yang disebut Guillain-Barre Syndrome (GBS). Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan penyakit autoimun, dimana sistem imun tubuh menyerang bagian dari sistem saraf tepi yaitu mielin (demielinasi) dan akson (degenerasi aksonal). Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel. Mielin adalah selubung yang mengelilingi akson, merupakan suatu kompleks protein-lemak berwarna putih. GBS ditandai dengan polineuropati yang menyeluruh: paralisis ekstremitas, badan atas dan wajah; menghilangnya refleks tendon; berkurangnya fungsi sensoris (nyeri dan suhu) dari badan ke otak; disfungsi otonom dan depresi pernafasan. Gejalanya biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas (Admin. 2010b).
Produksi Cytotoxin telah dilaporkan pada pasien penderita strain Campylobacter dengan gejala diare berdarah. Dalam sejumlah kecil kasus, infeksi dikaitkan dengan sindrom hemolitik-uremik dan purpura thrombocytopenic trombotik melalui mekanisme kurang dipahami. cedera sel endotel, dimediasi oleh endotoksin atau kompleks imun, diikuti oleh koagulasi intravascular dan microangiopathy trombotik dalam glomerulus dan mukosa gastrointestinal (Mahmud H Javid, MD. 2010).
Campylobacter jejuni menghasilkan toxin yang disebut Cytolethal Distending Tokxin (CDT). Cytolethal Distending Tokxin merupakan racun yang dihasilkan oleh varietas bakteri patogen. Mekanisme citotosisitas CDT adalah unik, karena masuknya di dalam sel eukariyotik. CDT (cytolethal distending toksin) yang dapat menghalangi pembelahan sel dan menghambat aktifasi sistem imun tubuh. Ini membantu bakteri untuk dapat menghindar dari sistem kekebalan tubuh dan bertahan dalam jangka waktu terbatas di dalam sel. Organisme ini menyebabkan perdarahan, pembengkakan, dan enteritis eksudatif (Admin. 2010e).


E. DIAGNOSA

Mikroorganisme patogen pada bahan pangan tidak menyebabkan perubahan fisik, sehingga tidak mudah dikenali secara sensori, melainkan memerlukan pengujian laboratorium. Mikroorganisme patogen itu dapat menyebabkan infeksi pangan (food infection), toksiko-infeksi pangan (food toxico-infection), dan intoksikasi pangan (food intoxication). Diagnosis klinis infeksi Campylobacter enterik dilakukan dengan melihat organisme melalui pemeriksaan langsung dari tinja atau dengan isolasi organisme. Campylobacter organisme berkembang biak lebih lambat dari bakteri enterik lain. Media biakan yag digunakan adalah blood-based, media yang mengandung antibiotik seperti Skirrow, Butzler dan Campy-BAP.
Beberapa jenis media yang dapat digunakan untuk menumbuhkan C. Jejuni, termasuk Mueller-Hilton broth dan agar yang dapat mendukung pertumbuhan C. Jejuni. Atmosfer optibum untuk C. Jejuni tumbuh pada 85% N2, 10% CO2 dan 5% O2. Sebesar 75% pada feses pasien enteritis Campylobacter ditemukan leukosit dan erytrocit dengan pemeriksaan mikroskop cahaya langsung, dengan pewarnaan methyline atau pewarnaan gram (Robert e. Mandrell. 2005).
Sero diagnosis infeksi C. Jejuni dapat dimunculkan dengan menggunakan antigen rekombinan yang spesifik dengan teknik enzyme –linked immunoassay (ELISA). Real-time Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan mendeteksi C. Jejuni secara cepat dan akurat pada feses.

                Biakan koloni Campylobacter jejuni pada media selektif untuk isolasi Campylobacter




F. PENCEGAHAN

Menurut Bill Marler (2010), langkah yang paling penting dan dapat diandalkan untuk mencegah infeksi Campylobacter adalah memasak semua produk unggas dengan benar.
1. Pastikan bahwa bagian paling tebal dari burung (pusat dada) mencapai 840C atau lebih tinggi. Disarankan bahwa suhu mencapai 690C setidaknya untuk bahan pengisi dan 740C untuk produk daging ayam giling, sedangkan untuk paha dan sayap dimasak hingga lemaknya keluar.
2. Pertimbangkan untuk menggunakan makanan iradiasi dalam dosis yang disetujui telah ditunjukkan untuk menghancurkan sedikitnya 99,9% dari patogen bawaan makanan yang umum termasuk Campylobacter, yang berhubungan dengan daging, unggas, dan kontaminasi sekunder produk segar.
3. Pastikan bahwa makanan lain seperti buah dan sayur tidak pernah kontak dengan pisau untuk memotong daging atau unggas atau peralatan yang digunakan selama pemotongan.
4. Jangan meninggalkan makanan di luar ruangan dengan kondisi terbuka selama lebih dari 2 jam.
5. Hindari produk susu mentah dan air tanah tanpa perlakuan (klorinasi atau dimasak)
6. Cuci buah dan sayuran dengan benar terutama jika dimakan mentah. Jika memungkinkan sayurn dan buah dikupas terlebih dahulu.
7. Cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air, terutama pada ujung jari dan lipatan kuku dan dikeringkan dengan kertas sekali pakai setelah kontak dengan hewan peliharaan, terutama anak-anak anjing, atau hewan ternak.

PENGOBATAN

Penggantian cairan tubuh dengan peningkatan glucose-electrolyte solutions melalui oral merupakan cara terpenting pada terapi pasien yang terinfeksi Campylobacter. Spesies ini telah resisten terhadap beberapa antibiotik, khususnya florokuinolon dan makrolida, serta bersifat zoonotik (Bill Marler, 2010).
Organisme patogen ini semakin resisten terhadap antibiotik, terutama fluoroquinolones dan macrolides, yang merupakan antimikroba yang paling sering digunakan untuk pengobatan campylobakteriosis ketika terapi klinis diperlukan. Sebagai patogen zoonosis, Campylobacter telah reservoir hewan yang luas dan menginfeksi manusia melalui kontaminasi air, makanan atau susu. Penggunaan antibiotik pada peternakan hewan dan obat manusia, dapat mempengaruhi perkembangan resisten antibiotik Campylobacter (Daniel J. Wilson et al. 2009).




DAFTAR PUSTAKA


Admin. 2010a. Bahaya Biologis Pada Bahan Pangan http://www.smallcrab.com/ makanan-dan-gizi/652-bahaya-biologis-pada-bahan-pangan.

Admin. 2010b. GBS - Guillain Barre syndrome. http://jiib.wordpress.com/ 2010/04/12/gbs-guillain-barre-syndrome/

Admin.2010c. BBB - Campylobacter jejuni Bad Bug Book:Foodborne Pathogenic Microorganisms and Natural Toxins Handbook Campylobacter jejuni http://www. campylobacterblog. Com /campylobacter-information /campylobacter/

Admin.2010d. Campylobacter Infection. http://kidshealth.org/parent/general/sick/

Admin. 2010e. Campylobacter. http://en.wikipedia.org /wiki/Campylobacter #cite note-History-8,2

Ang CW et al. 2001. Guillain-Barre syndrome and Miller Fisher syndrome-associated Campylobacter jejuni lipopolysaccharides induce anti-GM1 and anti-GQ1b antibodies in rabbits. Infect Immun. Apr;69(4):2462-9.

Biljana Miljković-Selimović et al. 2010. Enteritis caused by Campylobacter jejuni followed by acute motor axonal neuropathy. Journal of Medical Case Reports 2010; 4:101. http://jmedicalcasereports.com/content/4/1/101

Bill Marler. 2010. Campylobacter. Campylobakter Blog by Marler Clark LLP.PS. http://www.about-campylobacter.com/campylobacter_outbreaks/view/ campylobacter-illnesses-linked-to-raw-goat-milk-in-colorado/

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Campylobacter: Technical Fact Sheet. Retrieved October 29, 2007 from Centers for Disease Control and Prevention Web site: http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/ diseaseinfo/campylobacter_t.htm.

Daniel J. Wilson et al. 2009. Rapid Evolution and the Importance of Recombination to the Gastroenteric. Mol. Biol. Evol. 26(2):385–397.

Mahmud H Javid, MD. 2009. Campylobacter Infections. Industr Spotlight WebMd Professional.

Made Astawan. 2010.Bakteri Patogen Pada Makanan, Waspadalah. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Kompas. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/berita-farmasi/22-berita-farmasi/1401-bakteri-patogen-pada-makanan-waspadalah.html.

Made Supartha Utama. 2007. Kecenderungan Global Penjaminan Mutu dan Keamanan pangan. Makalah disampaikan pada “Pertemuan Integrasi Sistem Mutu” diselenggarakan oleh Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, di Denpasar 30-31 Juli 2007 .

Mahmud H Javid, MD. 2010.Campylobacter Infections: Differential Diagnoses & Workup. http://emedicine.medscape.com/article/213720-diagnosis

Noerdin. 2010. Waspadai Bakteri Patogen Pada Makanan. http://mxprx03.forumotion.com/berita-terkini-f8/waspadai-bakteri-patogen-pada-makanan-t543.htm#662

Poloengan, M., S.M. Noor, I. Komala, dan Andriani. 2005. Patogenosis Campylobacter terhadap hewan dan manusia. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 82−90.

Rahayu, W.P. 2005. Jejaring Intelijen Pangan (JIP) dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 3−5.

Riza Zainuddin Ahmad. 2008. Cemaran kapang pada pakan dan Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009.

Robert e. Mandrell. 2005. Speciation of campylobacter coli, c. Jejuni, c. Helveticus, c. Lari,c. Sputorum, and c. Upsaliensis by matrix-assisted laser Desorption ionization–time of flight. Applied and environmental microbiology. Aem..2005;71.10.6292–6307.http://www.campylobacterblog.com/ campylobacter - information / campylobacter/

Titiek F. Djaafar dan Siti Rahayu. 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian, Penyakit Yang Ditimbulkan Dan Pencegahannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jalan Rajawali No. 28, Demangan Baru, Yogyakarta 55281. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 200.

Vinni Mona Hansen. 2006. Characterization of Campylobacter phages including analysis of host range by selected Campylobacter Penner serotypes. BMC Microbiology 2007, 7:90 doi:10.1186/1471-2180-7-90. This article is available from: http://www.biomedcentral.com/1471-2180/7/90

Wendy Heywood, Brian Henderson and Sean P Nair. 2005. Cytolethal distending toxin: creating a gap in the cell cycle. J Med Microbiol 54 (2005), 207-216; DOI:10.1099/jmm.0.45694-0;http://jmm.sgmjournals.org/cgi/content/full/54/3/ 207